Kamis, 02 Juni 2011

JANGAN INGKARI KEUTAMAAN RAJAB DAN AMALAN DIDALAMNYA

Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah salat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.


Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Hukum Puasa Rajab

Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.


Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"


Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.


Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).


Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.


Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.


Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:
· Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
"Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
"Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."
Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

Mengamalkan Hadis Daif Rajab

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau kurang kuat).

Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan:

“Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain
www.pesantrenvirtual.com

JANGAN INGKARI KEUTAMAAN RAJAB DAN AMALAN DIDALAMNYA

oleh Ibnu Qosim pada 03 Juni 2011 jam 13:05
Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah salat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Hukum Puasa Rajab

Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.


Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"


Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.


Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).


Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.


Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.


Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:
· Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
"Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
"Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."
Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

Mengamalkan Hadis Daif Rajab

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau kurang kuat).

Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan:

“Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain
www.pesantrenvirtual.com

Fadilah dan Rahasia Bulan Rajab

Bulan ini dijuluki sebagai Syahrullah (bulannya Allah SWT), yang merupakan salah satu bulan suci umat Islam. Allah SWT memberikan kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya dengan diciptakannya bulan ini; dibuktikan dengan sabda Rasulullah SAW, “Rajabun Syahrullah” “Rajab adalah bulannya Allah SWT.” Tak seorang pun mengerti apa yang Dia bukakan kepada hamba-hamba-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya di bulan ini. Di bulan ini begitu berlimpahnya kehormatan dan kebahagiaan dapat diperoleh, bahkan tak terhingga. Mawlana Syekh Abdullah Fa’iz ad-Daghestani QS mengatakan—yang disampaikan oleh Mawlana Syekh Nazim Adil al-Haqqani QS, “Allah SWT tidak memperkenankan kalam-Nya untuk mencatat amal kita di bulan ini, kecuali dengan ‘perangkat surgawi’ yang disebut “Yad al-Qudra”, yaitu “Kekuatan yang Dahsyat.”


Allah SWT menyaksikan dan menerima amal hamba-hamba-Nya tidak dengan pengertian “fa man ya’mal mitsqala dzarratin khayran yarrah, wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarray yarrah.” Di bulan ini, siapa pun yang berbuat amal baik, amal saleh, akan secara langsung tercatat dengan perantaraan Qalam al-Qudra, suatu kekuatan pencatat amal “non konvensional” yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada para malaikat pencatat amal sekalipun. Ini merupakan “Kalam Ilahiah” yang “jauh di atas” kemampuan para malaikat untuk mengembannya. Kalam ini adalah kalam yang ketika Allah SWT memerintahkannya untuk menulis kalimat La ilaha ill-Allah sebelum diciptakannya alam semesta beserta segala isinya. Kalam Ilahiah tersebut melaksanakan perintah seraya gemetar selama 70.000 tahun dalam hitungan Allah SWT. Kemudian Dia memerintahkan untuk menulis Muhamadur-rasulullah SAW. Pada saat itu kalam sempat bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah gerangan yang Kau taruh namanya bersamaan dengan nama-Mu?” Serta merta Allah SWT menjawab; “Law la Muhammad ma khalaqtahu ahadan min khalqihi”, yang artinya “Kalaulah bukan untuk Muhammad SAW kekasih-Ku, tidak akan pernah Kuciptakan apa pun di alam semesta ini!” Kalam ini berada di Hadirat Ilahi, tidak diberikan-Nya kepada segenap para malaikat. Kalam Ilahiah tersebut akan diserahkan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW kelak di Hari Penghitungan (Yawmul Hisab). Kalam inilah yang menulis semua amal kebaikan umat manusia yang beriman di bulan Rajab ini. Sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan akan tercatat sedemikian rupa sehingga tetap akan sulit untuk memperoleh timbangan keseimbangannya.

Untuk setiap amal kebaikan yang dilakukan, Allah SWT akan memberikan hamba-hamba-Nya ganjaran yang tidak pernah diberikan-Nya pada kesempatan yang lain. Ganjaran akan berlipat ganda dalam bentuk ma'arij. Pada bulan ini Allah SWT memberikan ma'arij kepada umat manusia, hamba-Nya yang berbuat amal saleh, atas segala amalnya tersebut. Siapa pun yang berbuat kebaikan pasti akan diberi ganjaran mi'raj (kenaikan), dan mi'raj tersebut akan mengangkat hamba yang bersangkutan ke derajat di mana meskipun ia berbuat amal saleh secara sempurna selama setahun penuh untuk kembali ke permulaan bulan Rajab di tahun kemudian, maka amal kebaikan tersebut sebenarnya "tidak mampu" mengimbangi amal kebaikan terkecil yang dilakukan di bulan Rajab ini. Subhanallah! Ingatlah, hal ini sebenarnya masih merupakan setetes makna dan realitas fadilah bulan Rajab. Maka sungguh logis bahwa setiap tahunnya para awliya, para kekasih Allah SWT, hamba-hamba-Nya yang saleh dan salehah selalu menantikan kehadiran bulan Rajab. Para awliya akan menggunakan kesempatan Rajab untuk khalwat, bulan di mana penggapaian dan perolehan pancaran rahmat dan ilmu secara sangat luas terjamin oleh Allah SWT sebagai ganjaran ibadah khalwat tersebut. Oleh karena itu, khalwat dimulai di bulan Rajab. Jika seseorang ingin melaksanakan khalwat—adalah di bulan Rajab—bukan di bulan suci Ramadan. Di bulan Ramadan telah disediakan waktu yang afdhal untuk iktikaf.

Di bulan ini amal akan dilipatgandakan secara tatada 'afuw fihi al 'amaal. Amal kebaikan akan dibalas, diberikan ganjarannya bagaikan reaksi atomik. Apa yang diberikan Allah SWT selalu berkelipatan secara terus-menerus, khususnya di bulan Rajab—tidak akan ada yang pernah mengerti proses penghitungannya khususnya ketika dilaksanakan oleh Qalam al-Qudra. Kalam hanya menunggu perintah-Nya, apa pun yang akan dicatat sebagai suatu 'tabungan' amal saleh seluruh hamba, dan kalam ini kelak akan diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Kalam ini bukanlah termasuk 'malakun muqarrab', yakni kalam yang telah diberikan kepada para malaikat. Ini dibuktikan dengan firman-Nya, melalui Nabi Muhammad SAW, “Rajabun Syahrullah wa Sya’banu Syahri” – “Bulan Syakban adalah bulanku” (sabda Nabi SAW). Sehingga pada hakikatnya menjelaskan kepada kita semua, segala bentuk kebaikan yang bertaut dengan kepatuhan dan cinta kepada Nabi SAW—akan dicatat sendiri oleh kalam beliau. Terdapat Kalam Allah (Qudra) dan juga Kalam Rasul SAW. Allah SWT memberikan kehormatan tersebut kepada Nabi SAW, sejak beliau masih berada di alam dunia; dan ketika semua ciptaan-Nya mengucapkan salam dan selawat kepada beliau, maka akan dicatat langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Sedemikianlah Allah SWT memberikan kemuliaan dan kelebihan derajat kepada umat Nabi SAW jauh di atas umat lainnya, sedemikian tingginya sehingga perbuatan baik yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, walaupun sedikit saja, akan tercatat secara akumulatif (non stop). Para malaikat tidak memiliki wewenang sebagaimana yang telah dijelaskan tadi; 'laysa andahum salahiyyat.' Para malaikat diberikan wewenang untuk mencatat amal manusia, tetapi tidak untuk memberi pahala. Allah SWT-lah yang memberi pahala; tetapi Allah SWT pun memberi Sayyidina Muhammad SAW wewenang dan kehormatan untuk memberi pahala. Itulah sebabnya mengapa Allah SWT berfirman, “Rajabun Syahrullah,” yang pada hakikatnya mengimplikasikan “Aku memberikan pahala kepada hamba-Ku di bulan ini” dan Nabi SAW bersabda, “Wa Sya’banu syahri.” Beliau tidak bersabda, “Wa Syabanu syar al- rasul.” Nabi SAW bersabda, “Wa Sya’banu syahri” “mengimbangi” pernyataan “Rajabun syahrullah.” “Apa yang Allah SWT berikan kepadaku adalah untuk umatku, jadi segala yang aku berikan adalah untuk kebaikan umat.” “Apa yang Allah SWT berikan di bulan Rajab adalah untuk kebaikan umat dan Allah SWT memberikan pahala di bulan Rajab tanpa batas. Biasanya Allah SWT membalas suatu kebaikan dengan kelipatan sepuluh derajat.

Ketika Allah SWT membalas tanpa hisab (perhitungan) tiada seorang pun yang mengetahui. Hal tersebut berada di luar batas pemahaman manusia dan mizan (timbangan). Apa yang Nabi SAW berikan juga di luar batas perhitungan manusia dan malaikat, sebab ketika Nabi SAW memberi, beliau tidak memberi dari maqamnya ketika beliau masih hadir secara fisik di dunia 14 abad yang lalu, tetapi Nabi SAW memberinya dari maqam beliau terkini dengan ma'arij-nya. Apakah kita berpikir bahwa Nabi SAW hanya melakukan sekali mi'raj? Di Malam Kenaikan ketika Nabi SAW dimuliakan dan diundang Allah SWT untuk melaksanakan perjalanan lintas dimensi; apakah kita berpikir bahwa Nabi SAW 'diangkat' –kembali ke bumi—lalu berhenti dan selesai? Nabi SAW berada dalam maqam ma'arij tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu. Ketika Allah SWT memberi sesuatu kepada kekasih-Nya, Dia tidak menahan dan mengambilnya kembali. Allah SWT tidak berfirman; "Ini untukmu wahai Muhammad SAW, lalu setelah selesai engkau kembali ke tempatmu semula.” Tidak, tidak demikian. Allah SWT tetap melestarikan kondisi tersebut mulai dari satu hari 1400 tahun yang lalu ketika Nabi SAW melakukan mi’raj dalam Laylat al Israa'i wal-Mi’raj, beliau tetap bermi'raj ke Hadirat Allah SWT. Jadi menurut kita, apa kiranya yang Nabi SAW akan berikan? Apakah beliau memberi pahala dari keadaannya 1400 tahun yang lalu atau memberi dari tingkatannya sekarang? Dan Nabi SAW bersabda, “Allah SWT mengangkatku mitslayni mitslayni”, yakni dalam tingkatan yang lebih tinggi ganda, ganda, ganda, ganda dan berkali-kali lipat lagi. Setiap saat bertambah menjadi ganda kemudian berlipat empat dan seterusnya seperti itu. Lantas minimal sejak 14 abad lampau sampai sekarang, sudah berapa jauh perjalanan Nabi SAW dalam ma'arij-nya? Seseorang yang melakukan pujian kepada beliau di saat sekarang, tentu saja Nabi SAW memberinya balasan dari tingkatannya pada waktu yang sama.

Suatu manifestasi dari ikrar kesetiaan (bay’at), cinta (mahabbah), dan kepatuhan antara umat dan pemimpin berasal dari anwaar (cahaya) yang Nabi SAW sandang sebagai anugerah Allah SWT. Beliau disandangkan-Nya dengan segala tajali yang tidak seorang pun dapat menggambarkannya. Allah SWT menyandangkan Kekasih-Nya mitslayni mitslayni. Setiap saat tajalinya menjadi ganda dan ganda. Setiap saat Allah SWT menyandangkannya dengan cahaya dan rahasia membuatnya berada dalam Samudra Asma dan Sifat. Beliau berenang dalam Bahr al-Asmai wal sifat. Apa yang Allah SWT berikan kepada Sayyidina Muhammad SAW, tidak dapat seorang pun yang mampu mendeskripsikannya.

Hal tersebut berada dalam hati para awliya, meskipun mereka sebenarnya tidak mampu bagaimana mengekspresikannya. Tidaklah heran mengapa Sayyidina Abu Hurayra RA berkata, “Hafizhtu an Rasulillah wi'a ain,” “Aku dapat mengingat dua pengetahuan dari Rasulullah SAW." Salah satunya dapat kuceritakan kepada khalayak ramai; tetapi yang satunya lagi jika aku katakan mereka pasti akan memenggal leherku. Beberapa golongan ulama berkata bahwa hal ini merujuk pada tanda-tanda Hari Akhir. Hal ini tidak benar. Hal tersebut merujuk pada rahasia tingkatan Rasulullah SAW dan apa yang Allah SWT berikan kepada umat beliau. Umat ini adalah ummatan marhuma (diberikan rahmat) dan ummatan maghfira (diberikan pengampunan). Kita sebagai umat beliau diberikan pengampunan-Nya sebagaimana kecintaan yang terpancar oleh-Nya kepada Nabi SAW.

Dengan kata lain Rajabun syahrullah Sya’banu syahri berarti, ‘kalian memasuki milikku.’ Rasulullah SAW bersabda, “Sya’banu syahri.” Beliau tidak bersabda, “Sya’banu syahr al-Nabi” atau “Syahr Rasulullah.” Hal itu lebih menekankan atas kepemilikan (properti) Rasulullah SAW. Syahri berarti “Ini milikku. Kalian memasuki properti pribadi.” Ketika kita berdiri dan mengucapkan, “as-salaamu alayka ya Rasulallah SAW” dalam syahr Sya’ban, kita memasuki properti Muhammad SAW. Bisakah orang yang memasuki properti Rasulullah SAW masuk neraka? Jelas tidak, selesai! Allah SWT akan mengampuninya karena berkah dari Sayyidina Muhammad SAW. Jangan membayangkan jika kalian melangkahkan satu kaki ke dalam Surga lantas kalian akan dilemparkan ke neraka, sebab setiap Surga itu hidup. Apa yang berhubungan dengan akhirat adalah hidup. Surga selalu hidup dengan kehidupan di dalamnya. Ketika kita memasuki sesuatu dengan kehidupan di dalamnya, Allah SWT tidak akan melemparkan kita kembali ke neraka. Di saat kita melangkah ke dalam properti milik Sayyidina Muhammad SAW dan masuk ke dalam hadiratnya dengan salam dan selawat, siapa yang dapat mengambil kembali? Selesai! Rasulullah SAW akan mengadakan perbincangan dengan Ilahi Rabbi, “Ya Rabb, Ya Allah SWT mereka adalah umatku, mereka semua adalah pelayan-Mu, hamba-Mu.” Ia percaya kepadaku, ia masuk ke dalam propertiku, masuk ke dalam surgaku.”

Allah SWT akan berfirman, “Ambil dia! Aku berikan wewenang syafa'at kepadamu wahai Muhammad SAW. Mengapa Aku memberimu syafa'at? Bawa mereka semua ke mana pun engkau hendaki. Tempatkan mereka bersamamu wahai kekasih-Ku.” Kemudian Rasulullah SAW dianugrahi-Nya surga khusus untuk seluruh umatnya yang percaya kepadanya, memujinya, mencintainya, merasakan kehadirannya setiap saat, dan memanggilnya. Mereka akan diberi balasan. Mereka akan menjadi fi maqadi shidqin 'aind maliikin muqtadir. Mereka yang percaya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, tetapi tidak merasakan suatu proses rasa kehadiran (muraqabah) yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan malas untuk menyeru, akan juga berada di surga yang sama namun mereka akan terselubung dari pandangan Rasulullah SAW.

Wahai mu'min, wahai orang-orang yang beriman, apa yang ada di kalbu para awliya begitu luas, sehingga bila setetes kecil saja ditempatkan di alam ini maka alam ini akan menjadi abu dari pancaran tajali-Nya. Allah SWT tidak akan memberikan izin kepada para wali untuk mengungkapkan sampai mereka mendapat dukungan kekuatan penuh dari Sayyidina Imam Mahdi AS kelak, Insya Allah. Banyak wali telah lama menanti, menanti, dan dengan sabar menanti—sehingga tidak sedikit dari mereka dalam penantiannya tersebut kembali ke hadhirat Ilahi Rabbi. Kita layak untuk selalu berharap, sebagai pengikut Baginda Nabi SAW, para sahabat beliau, pengikut para wali Allah, pengikut Mawlana Syekh Nazim Adil Al-Haqqani QS, kiranya Allah SWT memanjangkan usia kita untuk sempat berjumpa dengan Imam Mahdi AS, untuk menikmati indahnya rahasia-rahasia dari dalam kalbu mereka (para wali).

Ketika kalian masuk ke dalam samudra ilmu Allah SWT, hal ini dapat membuat 'mabuk.' Jadi, pada akhirnya sudah tidak pantas untuk bersandar pada alam logika. Hal tersebut berada di luar batas pikiran kita. Seraya Ramadan menghampiri kita—wa Ramadhanu syahrul ummati—Marhaban Yaa Syahrul Ramadhan! Ini berarti setelah Allah SWT menyandangkan umat Nabi SAW dengan cahaya dari Bahr ul-Qudra, dari Samudra Kekuatan—Samudra Keindahan—Dia menyandangkan lagi dengan cahaya dan perwujudan Asmaa dan Sifat-Nya. Kemudian Dia mengirimkan mereka kepada kekasih-Nya untuk menyandangkan mereka dari samudra milik beliau. Kemudian dengan dua busana yang telah dipakai sejak Rajabun syahrullah dan Sya’banu syahri ini umat memasuki Ramadan untuk diberi penghargaan dengan puasa sebagai perwujudan syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikan kepada umat dalam syahr Rajab dan apa yang Nabi SAW berikan dalam syahr Sya’ban. Allah SWT memberi mereka pahala. Mereka akan disandangkan dengan busana ini dalam syahru Ramadan dan akan diperlihatkan kepada para malaikat.

Para malaikat—menurut Syekh Abdullah Fa'iz ad-Daghestani QS dan Mawlana Syekh Nazim Adil Al-Haqqani QS, akan berdiri kebingungan ketika perhatian mereka tertuju pada umat yang mengambil kesempatan secara optimal untuk beribadah secara ikhlas dan kontinu di bulan Rajab dan Syakban. Mereka yang tetap menjaga adab Rajab dan Syakban—mereka adalah bagian yang istimewa dan sungguh beruntung dari keseluruhan umat. Tidak semua bagian dari umat mampu melaksanakannya. Untuk orang-orang istimewa ini, yang tetap menjaga adab Rajab dan Syakban, ketika memasuki bulan suci Ramadan para malaikat akan tercengang keheranan. “Siapa mereka ini? Jenis tajali apa yang mereka sandang?” Begitulah rasa keingintahuan para malaikat. Pada akhirnya para malaikat merasa malu untuk mencatat amal mereka sebab apa pun yang akan malaikat catat untuk mereka di bulan Ramadan, orang-orang tersebut telah dihiasi dengan cahaya yang belum pernah dibukakan sebelumnya. Nur yang pada akhirnya dibukakan itu disebabkan oleh tajali dan ma'arij Rasulullah SAW. Para malaikat terkejut, heran, sampai dengan tahap 'bingung' tidak tahu apa yang harus dilakukan. Itulah sebabnya mengapa Allah SWT berfirman bahwa sepuluh hari terakhir dari Ramadan adalah atqun minal naar, yakni bebas dari api neraka. Amin Yaa Rabbul'alamiin.
Mawlana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani QS (www.naqshbandi.org)

Keutamaan Bulan Rajab

“Dan bersegeralah kamu memohon ampunan dari Tuhannmu, dan bersegera pula menuju sorga seluas langit dan bumi, ia sediakan bagi mereka yang bertakwa.” (QS Ali Imran 3:133) 



Nabi saw. bersabda:
“Siapa menyambut kehadiran malam pertama bulan Rajab, dengan aktifitas keagamaan, seperti shalat malam, baca Qur’an, dzikir dan lain-lain, maka ia berjiwa hidup sekalipun umumnya manusia mati hatinya, dan Allah mencurahkan kebaikan dari (fikiran) bawah kepalanya, ia bersih dari dosa seperti baru lahir dari kandungan ibunya, dan ia diizinkan mensyafa’ati 70.000 ahli berdosa yang seharusnya di neraka.” (Demikian dikutip dari kitab Lubil Albab, karya Maula Tajul ‘Arifin/A’rajiyah).


“Camkanlah, bahwasanya Rajab adalah syahrullah yang pekak, siapa puasa satu hari pada bulan itu penuh keyakinan dan keikhlasan, maka dapat dipastikan keridlaan Allah yang besar padanya. Dan siapa puasa 2 hari, maka seluruh masyarakat langit dan bumi tidak sanggup mensifati besarnya karamah Allah yang diberikan kepadanya. Dan siapa puasa 3 hari, maka ia diselamatkan dari mala petaka di dunia dan siksa di akherat, juga terbebas dari penyakit gila, kusta dan sejenisnya, serta dari ancaman dajjal. Siapa puasa 7 hari, maka tertutuplah baginya 7 pintu neraka Jahanam, siapa puasa 8 hari, maka terbuka baginya 8 pintu sorga, siapa puasa 10 hari, maka segala permohonannya dikabulkan oleh Allah Swt. Dan siapa puasa setengah bulan, maka diampuni dosa-dosa yang terdahlu, dan amal jahatnya diganti dengan amal baik, dan siapa menambah puasanya maka Allah juga menambah pahalanya.” (Zubdah)


Nabi Saw. bersabda:
“Di malam Isra’-Mi’raj, aku melihat sebuah begawan, airnya manis melebihi madu, sejuk melebih es, harum melebihi kasturi. lalu kutanyakan kepada Jibril, Jawabnya: ‘Benganwan itu disediakan bagi orang yang bershalawat kepadamu di bulan Rajab.’”
Muqatil ra. berkata: “Bahwasanya di balik bukit Kof itu ada tanah putih, debunya seperti perak, seluas 7x alam dunia, dipenuhi jamaah malaikat, seandainya ada sebatang jarum terjatuh, pasti mengenai mereka. Setiapnya berbendera “LAAILAAHA ILLALLAAH MUHAMMADUR RASUULULLAH”. Mereka berhimpun setiap malam Jumat bulan Rajab di sekeliling bukit Kof. mereka merendah memohon selamat bagi umat Muhammad saw., do’a mereka berikut:
RABBANARHAM UMMATA MUHAMMADIN WALAA TU’ADZ-DZIBHUM.

Artinya:
” Ya Tuhan, kasihanilah umat Muhammad dan janganlah mereka tersiksa”. Dan mereka (para malaikat) beristighfar, menunduk pada Allah hingga Shubuh. Maka Allah berfirman: “Hai para malaikatKu, demi Kemulyaan dan KeluhuranKu, Aku telah mengampuni mereka.” (Majalisul Abrar)

Abu Bakar berkata: “Ketika lewat sepertiga malam Jum’at bulan Rajab, seluruh malaikat langit dan bumi berhimpun di Ka’bah, lalu Allah memandang penuh rahmat kepada mereka, FirmanNya: “Hai malaikatKu, mohonlah yang kau inginkan! Jawab mereka: “Ya Tuhan, ampunilah orang yang puasa Rajab, FirmanNya: “Aku telah mengampuni mereka”.
Dikatakan pula bahwa setelah Rajab habis (hitungan bulannya), maka ia naik ke langit, lalu Allah SWT. Befirman: ” Hai bulanKu, apakah mereka mencintai dan memulyakanmu. Maka diamlah Rajab, hinga ditanya dua tiga kali, kemudian jawabnya: “Ya Tuhan, Engkaulah Yang pandai merahasiakan segala cacad dan cela, dan Engkau pula yang menyuruh makhlukMu supaya merahasiakannya pada lain orang, itulah sebabnya RasulMu menyebutku “pekak”, aku semata hanya mendengan kebaktian mereka, ketaatan dan kebaikan mereka, lain tidak. Selanjutnya Allah berfirman: “Engkau bulanKu yang pandai menyimpan cacad dan pekak hamba-hambaku yang ber’aib, Aku terima mereka berikut ‘aib/cacadnya berkat kehormatanmu seperti halnya Aku terima kamu berikut ‘aib/cacadmu. Aku mengampuni mereka sebab menyesali dosa mereka 1x dalam bulan Rajab, dan dalam bulan itu pula Aku tiada mencatat kemaksiatan mereka.” (Misykatul Anwar).


Nabi SAW, bersabda:
“Bahwasanya Rajab itu bulan Allah, Sya’ban bagiku dan Ramadhan bagi umatku.”
Disebut dengan Rajab, karena bangsa Arab telah memulyakan dan mengagungkan bulan tersebut, diantaranya mereka sambut dengan membuka pintu Ka’bah untuk umum selama bulan itu, padahal di bulan lainnya tidak dibuka kecuali hari Senen dan Kamis. Sahut mereka: ” Bulan ini adalah bulan Allah, dan rumah ini adalah Baitullah, dan bangsa ini adalah hamba Allah, maka tiada larangan bagi hambaNya memasuki Baitullah dalam bulan ini.” (A’rajiyah).

Hikayah:
Ada seorang wanita di Baitul Muqaddas yang taat beribadah kepada Allah SWT., bila bulan Rajab tiba, ia sambut dengan membaca surat Ikhlash 10x, pakaian kebesarannya dilepas dan ia ganti pakaian biasa. Tiba-tiba pada suatu bulan Rajab, ia jatuh sakit dan berpesan kepada anaknya, jika ia meninggal supaya dimakamkan berikut pakaian yang biasa dibuat menyambut bulan Rajab. Ternyata sesudah ia meninggal, anaknya merasa malu kepada umumnya masyarakat bila memenuhi pesan ibunya, maka dibungkuslah mayat ibunya dengan kain kafan yang mahal.
Dan pada suatu malam ia mimpi bertemu ibunya, kata ibu itu: “Hai anakku, kenapa engkau abaikan pesanku, sungguh aku tidak rela padamu”. Alkisah, bangunlah ia, rasa terkejut dan takut meliputi dirinya. Maka pagi harinya, ia menggali makam ibunya, namun mayat tiada, dan cemaslah ia sambil menangis. Di tengah-tengah menangis terdengarlah suara memanggilnya: “Ketahuilah bahwasanya siapa memulyakan bulanKu (Rajab), Aku tidak bakal membiarkannya kesepian di dalam kubur”. (Zubdatulwa’idhin)


Dari ‘Aisyah ra., Nabi SAW bersabda:
“Kelak di hari Kiamat seluruh manusia dalam keadaan lapar, kecuali para Nabi dan keluarga mereka, serta orang-orang yang berpuasa Rajab, puasa Sya’ban dan puasa Ramadhan, mereka tetap dalam keadaan tenang, tidak merasa lapar atau pun dahaga.” (Zubdatul wa’idhin)


Diriwayatkan dalam hadits:
“Ketika Kiamat telah tiba, terdengalah panggilan: “Dimanakah keluarga Rajab ? Lalu keluarlah nur-cahaya, diikuti Jibril dan Mikail, serta keluarga Rajab. Kemudian mereka bergerak melintasi shirath bagai kilat menyambar, dan bersujud kepada Allah SWT menyampaikan rasa syukur mereka kepadaNya. Allah berfirman: “Hai keluarga Rajab, pada hari ini kalian boleh mengangkat kepalamu, sungguh kalian telah bersujud di dunia di bulanKu, silahkan mengambil tempat masing-masing” (Raunaqul Majalis)


Hikayah:
Dari Tsauban, katanya: “Adalah kami bersama Nabi SAW lewat di suatu kuburan, lalu beliau SAW menangis dan berdo’a: Ketika hal itu kutanyakan, Jawabnya: “Ya Tsauban, mereka yang berada di kubur itu tengah menderita siksa, lalu aku berdo’a, dan allah meringankan siksa mereka”. Kemidan sabdanya: “Ya Tsauban, seandainya mereka puasa sehari di bulan Rajab, dan tiada tidur malamnya, pasti mereka tidak menderita siksaan kubur.” Lalu akupun bertanya: ” Ya Rasul, benarkah berbuat demikian dapat meringankan siksa kubur. Jawabnya: “Ya Tsauban, demi Allah Yang Mengutusku menjadi Nabi, tiada seorang muslim pria atau wanita puasa sehari di bulan Rajab dan beribadah di malamnya secara ikhlas karena Allah, kecuali Allah mencatatnya seperti beribadah satu tahun, puasa di siang hari, dan beribadah / shalat di malamnya.” (Zubdatul wa’idhin)
disarikan dari durrotun Nashihin dan Nujhatul majalis.