Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti
di Indonesia, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
mengenai penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Munculnya perbedaan ini
disebabkan karena dua hal:
1. Perbedaan pemahaman terhadap
hadits Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai dasar penentuan awal
Ramadhan atau awal Syawal. Hadits tersebut berbunyi:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ
“Berpuasalah
kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah) kalian
karena melihatnya. Jika mendung telah menghalangi kalian, maka
sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama memahami kata “ru`yah”
(melihat) dalam hadits tersebut dengan arti ru`yah basyariah haqiqiyah
(penglihatan dengan mata kepala manusia), sementara sebagian ulama yang
lain memahaminya dengan arti ru`yah maknawiyah (dengan hitung-hitungan
astronomi). Dari sini, maka muncullah dua metode penentuan awal
Ramadhan, yaitu metode hisab astronomi yang biasa dipakai oleh
Muhammadiyyah , dan metode ru`yah yang biasa dipakai oleh
warga NU .
2. Perbedaan
penentuan awal Ramadhan juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan
cara pandang mengenai matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya
matahari). Perbedaan ini terjadi di kalangan ulama yang menggunakan
metode ru’yah sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal
Syawal. Ada sebagian ulama yang berpegang pada prinsip matla’,
maksudnya setiap negeri mempunyai ru`yah tersendiri, sesuai dengan
koordinat bujur dan lintangnya. Di antara ulama yang berpendapat
seperti itu adalah Imam Syafi’i. Sementara itu, jumhur fuqaha
(mayoritas ahli fikih) tidak berpegang pada prinsip matla’ tersebut,
sehingga –menurut mereka- ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat
berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur
astronomi. . Komisi Fatwa
Majlis Ulama Indonesia (MUI). membolehkan pendapat yang ke dua, hanya saja hal itu memerlukan pembentukan lembaga yang berstatus sebagai
“Qadi (Hakim) Internasional” yang dipatuhi oleh seluruh negara-negara
Islam. Karena lembaga seperti itu belum ada, maka yang berlaku adalah
ketetapan pemerintah masing-masing negara.
Bagi sebagian
orang, terkadang adanya perbedaan seperti disebutkan di atas sering
membuat bingung. Apalagi di saat menentukan awal Syawal yang merupakan
hari raya bagi umat Islam. Mungkin saja terpikir dalam benak mereka,
mengapa hari raya umat Islam berbeda? Ada yang sekarang, ada yang
besok, ada yang lusa? Mana yang benar? Kami harus mengikuti yang mana?
Penentuan
awal Ramadhan atau awal Syawal merupakan permasalahan ijtihadi yang
didasarkan pada pemahaman masing-masing kelompok terhadap teks-teks
Al-Qur`an ataupun hadits. Dalam hal ini, sah-sah saja bila
masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku
hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah,
sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam
memperhatikan hal ini, maka sejuta perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah furu’iyyah seperti itu tidak akan pernah menjadi
persoalan bagi umat Islam.
Bila kita lihat Sunah Nabi,
perbedaan pendapat seperti itu juga ditolerir Baginda Rasulullah saw..
Dalam Shahih Bukhari, 2/436, disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar,
bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أحدٌ العَصْرَ إلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَة.
“Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”
Saat
mereka masih berada di dalam perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka,
sebagian dari mereka berkata: “Kita tidak boleh shalat sebelum kita
sampai di tempat tujuan.” Mereka pun akhirnya shalat Ashar di
perkampungan Bani Quraidhah, meskipun sesampainya di sana waktu shalat
Ashar telah lewat. Sementara sebagian yang lain berkata: “Sebaiknya
kita shalat di sini saja, karena maksud perkataan Nabi itu adalah agar
kita mempercepat perjalanan sehingga kita telah sampai di perkampungan
Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba.” Ketika hal itu dilaporkan
kepada Nabi, beliau sama sekali tidak mengingkari apa yang mereka
lakukan.
Dengan demikian, maka adanya perbedaan mengenai
penentuan awal Ramadhan ataupun awal Syawal di kalangan umat Islam
tidak semestinya menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bila
kenyataan yang terjadi seperti itu, maka perbedaan tersebut tidak akan
menjadi persoalan bagi mereka. Masing-masing kelompok dipersilahkan
untuk mengikuti pendapat mana yang menurutnya benar. Lain halnya bila
yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perbedaan tersebut menyebabkan
terjadinya perselisihan atau pertikaian di antara kaum Muslimin. Dalam
kondisi seperti itu, masing-masing kelompok harus bersikap legowo dan
tidak boleh mengikuti ego masing-masing. Mereka harus mengutamakan
persatuan umat Islam. Sebab walau bagaimanapun, persatuan umat jauh
lebih penting dan harus lebih diutamakan daripada sekedar
mempertahankan pendapat masing-masing. Wallaahu A’lam….