Selasa, 16 November 2010

PENANGGALAN HIJRIAH
Memahami Perbedaan Idul Adha 1431 H
Selasa, 16 November 2010 | 09:07 WIB
KOMPAS
Ijtimak Awal Zulhijah 1431 Hijriah 6 November 2010 pukul 15.52 WIB
M ZAID WAHYUDI
KOMPAS.com - Potensi adanya perbedaan Idul Adha 1431 Hijriah sudah diprediksi para ahli hisab rukyat dan astronom sejak beberapa tahun lalu. Perbedaan itu terwujud saat ini dengan adanya sebagian umat Islam Indonesia yang memperingati Idul Adha pada Selasa ini, sama seperti di Arab Saudi, dan sebagian lagi Rabu esok.
Melalui sidang isbat atau penetapan yang dilakukan Kementerian Agama dan dihadiri wakil berbagai organisasi massa Islam, pemerintah menetapkan Idul Adha 10 Zulhijah 1431 H jatuh pada 17 November 2010.
Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama yang juga Profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin di Jakarta, Senin (15/11), mengatakan, secara teoretis atau hisab, bulan sabit tipis atau hilal tidak mungkin diamati pada 6 November karena ketinggiannya di atas ufuk masih di bawah dua derajat. Hal itu juga didukung dengan data pengamatan yang menunjukkan hilal belum bisa dilihat atau dirukyat di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, bulan Dzulqa’dah atau bulan ke-11 dalam kalender Islam dibulatkan menjadi 30 hari sehingga 1 Zulhijah bertepatan dengan 8 November.
Di Indonesia, lanjut Djamaluddin, jika ada yang menetapkan Idul Adha pada 16 November, hal itu karena menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal (tanpa perlu diamati) sehingga bulan Dzulqa’dah hanya 29 hari.
Perbedaan lain muncul dengan ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan Idul Adha juga pada 16 November sehingga puncak ibadah haji berupa wukuf di Arafah dilakukan pada 9 November kemarin.
Menurut Djamaluddin, keputusan Pemerintah Arab Saudi menentukan Idul Adha tahun ini tergolong kontroversial. Secara teoretis, hilal tidak bisa dirukyat pada 6 November di Mekah. Namun, ternyata otoritas setempat menentukan berbeda.
Sebagai catatan, dalam keputusan penentuan hari raya, Pemerintah Arab Saudi sering kali digugat oleh para astronom di Timur Tengah dan kawasan lain. Meskipun Arab Saudi menggunakan metode melihat hilal untuk menentukan awal bulan, tapi sering kali hilal yang diklaim bisa dilihat itu secara teoretis astronomi tidak mungkin bisa dilihat.
Garis penanggalan bulan
Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama lainnya yang juga ahli kalender di Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, mengatakan, garis penanggalan pada kalender Hijriah berbeda dengan garis penanggalan kalender Masehi.
Garis penanggalan Masehi didasarkan pada patokan garis bujur timur atau garis bujur barat 180 derajat. Dalam penanggalan ini, daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan mulai dari kutub utara hingga kutub selatan akan selalu memiliki hari yang sama. Perubahan hari dimulai pada pukul 00.00.
Daerah yang lebih timur juga dipastikan akan lebih dahulu waktunya dibandingkan daerah di baratnya. Karena itu, dalam sistem penanggalan Masehi, waktu di Jakarta atau waktu Indonesia barat (WIB) selalu empat jam lebih dulu dibandingkan waktu Mekkah.
Namun, garis penanggalan bulan berbeda. Garis penanggalan bulan memiliki 235 variasi. Setiap bulannya, garis penanggalan bulan berbeda-beda. Garis penanggalan bulan akan kembali di dekat tempat yang sama sekitar 19 tahun kemudian.
Banyaknya variasi garis penanggalan bulan ini ditentukan oleh posisi Bulan terhadap Bumi, dan posisi sistem Bumi-Bulan terhadap Matahari.
Daerah yang pertama kali melihat hilal akan mengawali hari lebih dulu. Hal ini berarti, daerah yang terletak pada garis bujur yang sama atau berdekatan, hari atau awal bulan Hijriahnya bisa berbeda. Hari dimulai setelah Matahari terbenam atau magrib, bukan pukul 00.00.
Kondisi ini, lanjut Moedji, yang membuat waktu di Jakarta tidak selalu lebih dahulu dibanding Mekkah. Jika diasumsikan, hilal pada Zulhijah kali ini pertama kali dilihat di Mekkah, maka sesudah magrib atau sekitar pukul 18.00 di Mekkah sudah masuk bulan baru.
Saat itu, di Jakarta sudah pukul 22.00 WIB. Baru pada magrib keesokan harinya, Jakarta memasuki Zulhijah. Artinya, pada bulan Zulhijah kali ini waktu di Jakarta tertinggal 20 jam dibandingkan waktu Mekkah.
”Dalam penanggalan Hijriah, waktu di Indonesia bisa jadi lebih dulu dibandingkan waktu di Arab Saudi. Namun, bisa jadi pula Arab Saudi lebih dulu dibanding Indonesia,” tambahnya.
Menurut Moedji, perbedaan awal hari dalam kalender Hijriah inilah yang sering dipahami secara salah. Mereka beranggapan, karena waktu di Indonesia lebih cepat dibanding Mekkah, maka saat di Mekkah berhari raya, di Indonesia juga harus berhari raya. Padahal, konsep ini didasarkan atas pencampuradukkan konsepsi kalender Hijriah dan Masehi sehingga menimbulkan kerancuan.
”Umat Islam Indonesia harus memahami bahwa mereka menggunakan dua sistem kalender. Kalender Masehi untuk keperluan sehari-hari dan kalender Hijriah untuk keperluan ibadah. Setiap kalender memiliki konsep dan konsekuensi masing-masing yang berbeda,” ungkapnya.
Meskipun berbeda, baik Moedji maupun Djamaluddin mengajak umat Islam menghormati perbedaan yang ada. Kejadian ini harus kembali memacu umat Islam Indonesia untuk segera membuat kriteria penentuan awal bulan Hijriah secara bersama yang berlaku nasional.
Jika sudah ada, maka konsepsi ini bisa disosialisasikan secara regional dan internasional sehingga diperoleh sistem penanggalan Hijriah yang bisa berlaku secara global.
”Sistem penanggalan Hijriah memang lebih kompleks dibandingkan penanggalan Masehi, tapi itu bukan berarti tidak bisa distandardisasi,” ujar Moedji.

Senin, 01 November 2010

Delapan Dirham


Rasulullah pagi itu sibuk memperhatikan bajunya dengan cermat. baju satu-satunya dan itupun ternyata sudah usang. baju yang setia menutup aurat beliau. meringankan tubuh beliau dari terik matahari dan dinginnya udara. Baju yang tidak pernah beristirahat.

         Tetapi beliau tak mempunyai uang sepeser pun. Dengan apa beliau harus membeli baju? Padahal baju yang ada sudah waktunya diganti. Rasulullah sebenarnya dapat saja menjadi kaya mendadak, bahkan terkaya di dunia ini. Tapi sayang, beliau tak mau mempergunakan kemudahan itu. Jika beliau mau, Allah dalam sekejap bisa mengubah gunung dan pasir menjadi butir-butir emas yang berharga. Beliau tak sudi berbuat demikian karena kasihnya kepada para fakir yang papa. Siapakah yang akan menjadi teladan jika bukan beliau.. ? Contoh untuk menahan derita, menahan lapar dan dahaga, menahan segala coba dan uji Allah dengan kesabaran. Selalu mensyukuri nikmat Allah berapa pun besarnya. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menyertai umatnya dalam menjalani iradat yang telah ditentukan Allah. Yaitu kehidupan dalam jurang kedukaan dan kemiskinan. Siapa pula yang harus menghibur mereka agar selalu bersabar dan rela dengan yang ada selain beliau ? Juga siapa pula yang harus menanamkan keyakinan akan pahala Allah kelak di akhirat jika bukan beliau ?

         Yah,… hanya beliaulah yang mampu menjalankan berbagai hal diatas. benar,… baliaulah satu-satunya manusia yang mendapatkan amanat dari Allah untuk semua umat manusia. Tugas yang lebih murni dan mulia daripada intan berlian serta butiran emas yang lain. Lebih halus dari sutera serta lebih indah dari segala keindahan yang dikenal manusia di dunia ini. lebih megah dari segala kedudukan dan derajad kehidupan manusia yang katanya sudah megah.

         "Semua itu hanyalah merupakan kesenangan dunia sedang di sisi Allah yang paling baik dan sebaik-baik tempat kembali"
Perjuangan itu tidak mudah. bahkan sangat berat bagi beliau. Menegakkan yang hak hanya dapat dicapai dengan penuh keimanan dan kekuatan. sabar dalam menghadapi setiap malapetaka yang menimpa, bersyukur yang dilakukan dengan hati bersih. dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam duka maupun suka, bersyukur dan keimanan harus selalu menyertai. Itulah pokok risalah yang dibawa Rasulullah S.A.W .

         Allah Maha Bijaksana, tidak akan membiarkan hamba-Nya terkasih kebingungan. Rasulullah diberinya rezeki sebanyak delapan dirham. Bergegas beliau melangkah ke pasar. Tentunya kita maklum. uang sekian itu dapat dibelikan apa. Apakah cukup untuk membeli makan, minum, serta pakaian penutup badan ? Oleh sebab itu, bergembiralah hai para fakir dan miskin! Nabi kita, Muhammad S.A.W telah memberikan contoh begitu jelas. Nabi yang kita cintai, hamba kesayangan Allah pergi ke pasar dengan uang sedikit seperti yang kita miliki. Tetapi nabi kita ini, hamba Allah yang di bumi bernama Ahmad, sedang dari langit bernama Muhammad dengan ridha pergi ke pasar berbekal uang delapan dirham untuk berbelanja. Manusia penuh nur dan inayah Allah yang dilahirkan di makkah. meskipun beliau miskin, beliau senang sekali hidup. beliau belum ingin mati meski kemiskinan menjerat setiap hari.

         Di tengah perjalanan menuju pasar, beliau menemukan seorang wanita yang menangis. Ternyata wanita yang kehilangan uang. Segera beliau memberikan uangnya sebanyak dua dirham. Beliau berhenti sejenak untuk menenangkan wanita itu.
Rasulullah bergegas menuju ke pasar yang semakin ramai. Sepanjang lorong pasar banyak sekali masyarakat yang menegur beliau dengan hormat. Selalu menjawab dan memberikan salam yang mengingatkan akan kebesaran Allah semata. Beliau langsung menuju tempat di mana ada barang yang diperlukannya. Dibelinya sepasang baju dengan harga empat dirham. beliau segera pulang.

         Di perjalanan beliau bertemu dengan seorang tua yang telanjang. Orang tersebut dengan iba memohon sepotong baju untuk dipakainya. Rasulullah yang memang pengasih itu tidak tahan melihat. Langsung diberikannya baju yang baru dibeli. Beliau kembali ke pasar utnuk membeli baju lagi seharga dua dirham. Tentu saja lebih kasar dan jelek kualitasnya daripada yang empat dirham. dengan gembira beliau pulang membawa bajunya.

         Langkahnya dipercepat karena sengatan matahari yang semakin terik. Juga angin malam yang telah mulai berhembus pelan-pelan. Beliau tidak ingin kemalaman di jalan. Tak lama beliau melangkah ke luar pasar, ditemuinya lagi wanita yang menangis tadi. Wanita itu kelihatan bingung dan sangat gelisah. Rasulullah S.A.W mendekat dan bertanya mengapa. Wanita itu ternyata ketakutan untuk pulang. Dia telah terlambat dari batas waktu, dan takut dimarahi majikannya jika pulang nanti. Rasulullah S.A.W langsung menyatakan akan mengantarkannya.

         Wanita itu berjalan yang diikuti Rasulullah S.A.W dari belakang. Hatinya tenang karena Rasulullah S.A.W pasti akan melindungi dirinya. Dia yakin majikannya akan memaafkan, karena kepulangan yang diantarkan oleh manusia paling mulia di dunia ini. Bahkan mungkin akan berterima kasih karena pulang membawa kebaikan bersama dengan kedatangan nabi dan rasul mereka. Mereka terus berjalan hingga sampai ke perkampungan kaum Anshari. Kebetulan saat itu yang ada hanyalah para isteri mereka.

         "Assalamu'alaikum warahmatullah", sapa Rasulullah S.A.W keras. Mereka semuanya diam tak menjawab. Padahal mereka mendengar. Hati mereka diliputi kebahagiaan karena kedatangan Nabi. Mereka menganggap salam Rasulullah S.A.W sebagai berkah dan seperti lebaran saja. Mereka masih ingin mendengarnya lagi. Ketika tak terdengar jawaban, Rasulullah S.A.W memberi salam lagi. Tetap tak terdengar jawaban. Rasulullah S.A.W mengulang untuk yang ketiga kali dengan suara lantang, Assalamu'alaikum warahmatullah. Serentak mereka menjawab.

         Rasulullah sangat heran dengan semua itu. Beliau menanyakan pada mereka apa sebabnya. Mereka mengatakan, " Tidak ya Rasulullah. Kami sudah mendengar sejak tadi. Kami memang sengaja, kami ingin mendapatkan salam lebih banyak".
Rasulullah melanjutkan, "Pembantumu ini terlambat pulang dan tidak berani pulang sendirian. Sekiranya dia harus menerima hukuman, akulah yang akan menerimanya". Ucapan ini sangat mengejutkan mereka. Kasih sayang Nabi begitu murni, budi pekerti yang utama, yang indah tampak dihadapan mereka.

         Beliau menempuh perjalanan begitu panjang dan jauh hanya untuk mengantarkan seorang budak yang takut dimarahi majikannya. Lagipula hanya karena terlambat pulang. Bahkan memohonkan maaf baginya pula. Sehingga karena harunya, mereka berkata, "Kami memaafkan dan bahkan membebaskannya. Kedatangannya kemari bersama anda karena untuk mengharap ridha Allah semata". Budak itu tak terhingga rasa terima kasihnya. Bersyukur atas karunia Allah swt dan kebebasannya karena dari Rasulullah S.A.W .

         Rasulullah S.A.W pulang dengan hati gembira. Telah bebas satu perbudakan dengan mengharap ridha Allah swt sepenuhnya. Beliau juga tak lupa mendoakan para wanita itu agar mendapatkan berkah dari Allah swt. Semoga semua harta dan turunan serta semoga selalu tetap dalam keadaan iman dan islam. Beliau sibuk memikirkan peristiwa sehari tadi. Hari yang penuh berkah dan karunia Allah swt semata.

         Akhirnya beliau berujar dengan, "Belum pernah kutemui berkah angka delapan sebagaimana hari ini. Delapan dirham yang mampu mengamankan seseorang dari ketakutan, dua orang yang membutuhkan serta memerdekakan seorang budak". Bagi seseorang muslim yang memberikan pakaian pada saudara sesama muslim, Allah akan memelihara selama pakaian itu masih melekat.
oleh Tazkiah an Nafs

Sabtu, 30 Oktober 2010

Hubbuddunya (Cinta Dunia)



Siapakah arsitek yang telah mendesain raksasa bumi yang gagah perkasa, indah, menakjubkan dan mempesona ini…? Siapakah yang menegakkannya dengan kokoh di atas muka bumi ini…? Sesungguhnya gunung-gunung inipun bertasbih kepada-Nya…!سُبْحَانَ اللهُ

لَوْ أَنزَلْنَا هَـٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّـهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quraan ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS.Al-Hasyr [59] : 21)

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ١٣

Maka ni'mat Tuhan kamu yg manakah yg kamu dustakan? (QS.Ar Rahmaan [55] : 13)

Masih banyak diantara saudara muslim kita yang ikut merayakan valentine day, yang pada dasarnya sangat tidak diajarkan dalam islam ,tetapi hari ini saya coba mengingatkan diri saya pribadi dan asudara sekalian untuk tidak berlarut dalam bercinta dengan cinta dunia sebagaimana ,Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia[1].

Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga, -pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, -pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, -pent.) dan Kaisar (raja Romawi -pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah”. [2]

Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679) [3]

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

[1]  Mereka yang tertipu dengan dunia.
[2]  Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ

“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, -pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

[3]  Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)
oleh Ratna Na http://maktabah-islamiyah.blogspot.com/

Lentera hati

Cukuplah Kematian Sebagai Nasehat




Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!" (HR. Tirmidzi)


Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul...."

Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan 'habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan.

Cuma kain kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.

Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia..." dengan menyebut, "Ad-Dun-ya mazra'atul akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.

Ya Allah jadikan kematian kami kematian yang khusnul khatimah.. Amin.



Sumber : "" Sucikan Hati Dari Penyakit Hati""

 
oleh Ratna                                                                                                                                                                                                                                                                                   

Rabu, 27 Oktober 2010

Lentera Hati

Harga Sebuah Kekuasaan = 1 Gelas Air Saja


Khalifah Harun Ar Rasyid sedang dalam sebuah perjalanan melintasi sebuah gurun pasir menunggangi unta. Bersamanya Seorang Penasehat yang bijak, Ibnu As Samak. Perjalanan panjang di siang yang panas. Terik matahari membuat dehidrasi dan sang khalifah pun kehausan. Pada satu tempat yang teduh, Harun ar Rasyid menepi.

Ibnu Samak menawarkan segelas air sambil berujar, “Khalifah…, dalam kondisi panas dan tenggorokan kehausan, andaikata kau tidak dapatkan air untuk minum kecuali dengan harus mengeluarkan separuh kekuasaanmu, sudikah engkau membayar dan mengeluarkannya? !”

Tanpa pikir panjang khalifah ar Rasyid menjawab, “Tentu Aku bersedia membayarnya seharga itu asal tidak mati kehausan!”

Maka usai mendengarnya, Ibnus Samak memberikan segelas air itu dan khalifah pun tidak lagi kehausan.

Kemudian Ibnu Samak melontarkan pertanyaan lagi, “Wahai Khalifah, andai air segelas yang kau minum tadi tidak keluar dari lambungmu selama beberapa hari tentulah amat sakit rasanya. Perut jadi gak keruan dan semua urusan jadi berantakan karenanya. Andai kata bila kau berobat demi mengeluarkan air itu dan harus menghabiskan separuh kekayaanmu lagi, akankah kau sudi membayarnya? ”

Mendengar itu, sang khalifah merenungi kondisi yang disebut oleh Ibnu Samak. Seolah mengamini maka khalifah menjawab, “Saya akan membayarnya meski dengan separuh kekuasaanku !”

Mendengar jawaban dari sang khalifah, maka Ibnus Samak sang penasehat raja yang bijak kemudian berkomentar, “O…., kalau begitu seluruh Kekuasaan yang khalifah miliki itu rupanya hanya senilai segelas air saja!”

Sahabat, Itu baru kenikmatan segelas air...., coba kita renungkan dan kita rasakan betapa nikmat yang dilimpahkan Allah SWT kepada kita amat sangat banyak, hingga kita tak akan mampu menghitungnya.

Mata kita dengan leluasanya memandang indahnya dunia dan segala ciptaanNYA, akankah kita gunakan untuk memandang yang dilarang oleh Allah Yang Maha Melihat ?

Pendengaran kita mampu menangkap segala bentuk informasi yang membuat kita menjadi orang hebat, akankah kita pakai mendengar hal-hal yang melanggar aturan Allah Yang Maha Mendengar ?

Mulut dan Lidah kita yang mampu menikmati berbagai rasa dan kelezatan serta mengkomunikasikan segala bentuk perasaan dan kebijakan, sudahkah kita jaga agar tidak melukai ? seberapa seringkah kita baca dan kita patuhi Surat-Surat Cinta ( Firman ) dari Yang Maha Pembuat Kebijakan

Nafas kita yang setiap detik mensuplai kebutuhan oksigen untuk tubuh dan kehidupan kita secara Cuma-Cuma, akankah kita sia-siakan detik demi detik berlalu tanpa ada kontribusi untuk memperjuangkan tegaknya aturan-aturan Allah SWT dalam diri, keluarga dan masyarakat kita ?Kaki tangan kita yang mampu bergerak secara leluasa untuk mengerjakan berbagai aktifitas kehidupan, sudahkan kita mengekspresikan ketundukan dan ketaatan dengan bersujud dan rukuk kepadaNya disaat Dia memanggil kita ?

Harta dan Kekayaan yang telah diamanahkan kepada kita, sudahkan kita sucikan ? sudah relakah kita investasikan untuk Planning Sukses Akhir Hayat kita ? dan masih banyak nikmat lainnya yang kalau kita hitung dan kita rinci satu per satu kita tidak akan mampu menghitungnya.

"Seandainya kalian menghitung nikmat Allah, tentu kalian tidak akan mampu"( QS,An-Nahl: 18)

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?QS. ar-Rahman (55) : 13
oleh Melati

LENTERA HATI

HATI ibarat RUMAH

Ada 3 macam rumah, 
Pertama: Rumah Raja, di dlmnya ada simpanannya, tabungannya serta perhiasannya.
Kedua: Rumah Hamba, di dlmnya ada simpanan, tabungan & perhiasan yg tidak spt yg dimiliki seorang raja. 
Dan ketiga: Rumah Kosong, tidak ada isinya.
Jika datang seorang pencuri, rumah mana yang akan dimasukinya?
Apabila anda menjawab, ia akan masuk rumah yang kosong, tentu suatu hal yg tidak masuk akal, kerana rumah kosong tidak ada barang yang boleh dicurinya.
Kerana itulah apabila dikatakan kepada Ibnu Abbas r.a. bahawa ada orang-orang Yahudi mengatakan bahawa di dalam solat, mereka 'tidak pernah terganggu', maka Ibnu Abbas berkata: "Apakah yang mampu dikerjakan oleh syaitan di dalam rumah yang sudah rosak?".
Bila jawaban anda adalah: "Pencuri itu akan masuk rumah raja." Hal tersebut bagaikan sesuatu yang hampir mustahil, kerana tentunya rumah raja dijaga oleh penjaga dan tentera, sehingga pencuri tidak mampu mendekatinya. Bagaimana mungkin pencuri tersebut mendekatinya sementara para penjaga dan tentera sentiasa bersiap sedia di sekitar raja?
Sekarang tinggal rumah kedua, maka hendaklah orang-orang berakal memperhatikan permisalan ini sebaik-baiknya, dan menganalogikannya (rumah) dengan hati, kerana inilah yang dimaksudkannya..
Rumah Kosong iaitu hati yang kosong dari kebajikan, yaitu hati orang-orang kafir dan munafik, adalah rumah syaitan, yang telah menjadikannya sebagai benteng bagi dirinya dan sebagai tempat tinggalnya. Maka adakah rangsangan untuk mencuri dari rumah itu sementara yang ada didalamnya hanyalah peninggalan syaitan, simpanannya dan gangguannya?.
Rumah Raja iaitu hati yang telah dipenuhi dengan kekuasaan Allah SWT dan keagunganNya, penuh dengan kecintaanNya dan sentiasa dalam penjagaanNya dan selalu malu darinya, syaitan mana yang berani memasuki hati ini? Bila ada yang ingin mencuri sesuatu darinya, mampukah ia mencurinya?.
Rumah Hamba iaitu hati yang di dalamnya ada tauhid Allah, mengerti tentang Allah, mencintaiNya, dan beriman kepadaNya, serta membenarkan janjiNya. Namun di dalamnya ada pula syahwat, sifat-sifat buruk, hawa nafsu dan tabiat tidak baik. 
Hati ini ada di antara dua hal. Kadang hatinya cenderung kepada keimanan, makrifat dan kecintaan kepada Allah semata, dan kadang condong kepada panggilan syaitan, hawa nafsu dan tabiat tercela. Hati semacam inilah yang dicari oleh syaitan dan diinginkannya. Dan Allah memberikan pertolonganNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya sebagaimana firmanNya: "Dan kemenanganmu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Ali Imran:126). 
Syaitan tidak mampu mengganggunya kecuali dengan senjata yang dimilikinya, yang dengannya ia masuk ke dalam hati. Di dalam hati seperti ini syaitan mendapati senjata-senjatanya yg berupa syahwat, syubhat, khayalan2 dan angan2 dusta yang berada di dalam hati. Saat memasukinya, syaitan mendapati senjata-senjata tersebut dan mengambilnya serta menjadikannya menetap di hati. Apabila seorang hamba mempunyai benteng keimanan yang mampu mengimbangi serangan tersebut, serta memiliki kekuatan melebihi kekuatan penyerangnya, maka ia akan mampu mengalahkan syaitan..Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata-mata...

Sejarah, Pengertian dan Tupoksi Penyuluh Agama

          Istilah Penyuluh Agama mulai disosialisasikan sejak tahun 1985 yaitu dengan adanya Keputusan Menteri Agama nomor 791 Tahun 1985 tentang honorarium bagi Penyuluh Agama. Istilah Penyuluh Agama dipergunakan untuk mengganti istilah Guru Agama Honorer (GAH) yang dipakai sebelumnya di lingkungan kedinasan Departemen Agama.Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan      Fungsional Pegawai Negeri Sipil antara lain dinyatakan bahwa untuk meningkatkan  mutu profesionalisme dan pembinaan karir pegawai negeri sipil perlu ditetapkan jabatan fungsional.
          Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut di atas, dikeluarkan keputusan Presiden nomor 87 Tahun 1999 tentang rumpun jabatan fungsional pegawai negeri sipil yang antara lain menetapkan bahwa penyuluh agama adalah jabatan fungsional pegawai negeri yang termasuk dalam rumpun jabatan keagamaan.
Berdasarkan keputusan Menkowasbangpan nomor 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 ditetapkan jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya. Untuk pengaturan lebih lanjut dikelurkanlah keputusan bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara nomor 574 Tahun 1999 dan nomor 178 Tahun 1999. Dalam keputusan ini diatur hal-hal yang berkenaan dengan pengangkatan, penilaian, penetapan angka kredit, kenaikan pangkat, pembebasan sementara, pengangkatan kembali dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dari jabatan fungsional penyuluh agama.

          Mengacu pada peraturan di atas, pengertian Penyuluh Agama adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama.
Tugas pokok Penyuluh Agama Islam adalah melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan dan pembangunan melalui bahasa agama.
           Berpijak pada tugas pokok tersebut, maka dalam pelaksanaan tugas tersebut melekat fungsi-fungsi sebagai berikut :
Fungsi informatif dan edukatif
         Penyuluh agama Islam memposisikan dirinya sebagai orang yang berkewajiban menyampaikan pesan-pesan ajaran agama dan membina masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Al-Qurân dan Sunnah Nabi
Fungsi konsultatif
          Penyuluh agama Islam menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan memecah kan permasalahan yang dihadapi masyarakat, baik persoalan pribadi, keluarga maupun masyarakat secara umum
Fungsi advokatif
         Penyuluh agama Islam memiliki tanggung jawab moral dan social untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap masyarakat dari segala bentuk kegiatan/pemikiran yang akan merusak aqidah dan tatanan kehidupan beragama.