Kamis, 14 Oktober 2010

PERAN MAJELIS TAKLIM DALAM RE-INTEGRASI BANGSA





Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama bukan lagi murapakan kenyataan yang asing. Akan tetapi anatomi kultur beragama di Indonesia harus dilihat sebagai sesuatu yang khas dan unik. Kenyataan tersebut dapat ditelusuri dari perjalanan sejarah masuknya agama di Indonesia. Baik dari dimensi sosial-budaya, maupun dari dimensi soisal-politiknya. Kehadiran Agama Hindu-Budha yang harus berhadapan dan beradaptasi dengan agama asli, dan selanjutnya agama Islam harus pula berhadapan dan beradaptasi dengan tradisi gabungan dari ketiga unsur tersebut. Kemudian secara spesifik, kedatangan agama Kristen yang dibarengi nuansa kolonialisme barat di Indonesia telah pula mewarna corak kultur beragama di Indonesia.
 
Corak kultur yang lebih menarik untuk diamati adalah pada corak penyebaran dan sosialisasi sistem nilai ajaran agama serta budaya agama dan pola interaksi antar umat beragama yang dibentuk.
Dalam tradisi budaya masyarakat Islam, sebagai contoh, memiliki corak budaya (strategi) penyebaran yang khas, berbeda dengan pola yang ada di negara Islam lainnya. Ummat Islam banyak mengadopsi pola-pola penyebaran dan sosialisasi nilai-nilai ajaran agama yang digunakan atau hidup di masa berkembangnya tiga tradisi beragama dari umat beragama sebelumnya: Agama Asli, Hindu dan Budha. Sebagai contoh tradisi pendidikan pesantren. Tradisi ini harus diakui sebagai hasil adopsi dan modivikasi dari tradisi Agama Asli-Hidu-Budha di Indonesia. Suatu sistem pendidikan keagamaan dalam suatu lokasi dan bangunan tertentu yang pimpin oleh seorang kyai. Kyai, sosok suci dan ditaati. Istilah tersebut tidak pernah dikenal dalam dunia Islam sebelum masuk ke Indonesia.
 
Dalam sejarah Indonesia klasik, posisi elite agama, seperti Kyai, memiliki posisi khas dan menentukan. Baik dalam kehidupan politik, sosial maupun budaya. Seroang Kyai selain sebagai seorang tokoh agama, ia pun menjadi panutan dan sumber perkembangan kebudayaan lokal. Tidak jarang seorang Kyai adalah juga sebagai seorang budayawan atau seniman. Tak jarang ia pun memerankan diri sebagai wakil masyarakatnya dalam menghadapi persoalan-persoalan yang berbau politik.
 
Di masyarakat tertentu, baik di pedesaan maupun perkotaan, di mana tidak ada pesantren, biasanya dibentuk kumpulan-kumpulan pengajian yang dihadiri oleh masyarakat, khususnya kaum ibu. Kaum yang dianggap sebagai tulang punggung pendidikan keluarga. Di sana ibu-ibu sambil bersilaturahmi mendapat siraman rohani dan poengetahuan agama dengan tema pembicaraan yang sangat bervariasi, sesuai dengan kebutuhan dan isu yang berkembang dalam masyarakat. Majlis taklim ini biasanya dipimpin oleh tokoh agama di masyarakat tersebut yang yang dianggap memiliki wawasan keagamaan yang memadai, atau kadang mendatangkan seorang Kyai, Ulama atau ustadz-ustadzah dari daerah lain. Pada waktu-waktu tertentu, secara bersama-sama biasanya mereka melakukan ziarah ke tempat-tempat tertentu atau melakukan kunjungan dan mengikuti tabligh Akbar di pesantren tertentu.
 
Sebelum munculnya gerakan modernisasi Islam di Indonesia, kelompok majlis taklim ini sangat bersifat terbuka. Setelah terjadi gerakan modernisasi dan muncul paham keagamaan yang dianggap bertentang dan baru, maka majlis taklim pun mengalami perkembangan yang khas. Bahkan kadang berkesan ekslusif.
Namun demikian kesan ekslusifitas majlis taklim ini tidak merobah posisinya sebagai media silaturhmi, media penyampaian ajaran agama dan media penyucian rohani, katarsis. Bahkan kemudian, setelah Bangsa Indonesia merdeka, Majlis Taklim ini tidak jarang dijadikan sarana media sosialisasi program pemerintah.
 
Pada jaman Orde Baru, sebagai contoh, keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) tidak bisa dipisahkan dari peran serta Majlis Taklim di dalamnya. Tanpa itu, bisa dipastikan bahwa program tersebut akan mengalami kegagalan total. Dan di jaman itu pula, tidak jarang Majlis Taklim menjadi objek tekanan politis. Terlalu banyak untuk disebutkan, karena tampaknya lebih banyak yang tidak terungkap dan diketahui dari pada yang terungkap dan diketuai. Cukuplah dengan melirik kasus pembantai di Tanjung Priuk yang sampai sekarang belum bisa diungkap diselesaikan secara tuntas.
 
Dengan demikian, tampak bahwa Majlis Taklim pun tidak lepas dari peran politik bangsa ini. Bila demikian, di masa semaraknya disintegrasi bangsa ini, apakah Majlis Taklim memiliki peran yang signifikan dalam proses dis-integrasi bangsa ini atau tidak? Bila fenomena disintegrasi ini haya ada terjadi sebagai percaturan elit politik bangsa ini, maka bisa dipastikan bahwa peran Majlis Taklim dalam persoalan tersebut sangat kecil, bila tidak dikatakan tidak berperan. Namun bila isu dan fenomena disintegrasi ini pun menjadi isu masyarakat di seluruh lapisan, maka kita harus menelisik lebih lanjut, sejauh mana peran Majlis Taklim berperan di dalamnya.
 
Bila posistif, ditemukan peran tersebut dan signifikan, bagaimana menjadikan Majlis Taklim berperan dalam menggulirkan proses dan upaya re-integrasi bangsa yang sedang mengalami sakit parah ini. Khususnya tatkala muncul tuduhan (baca= hipotesa) bahwa salah satu unsur dominan yang menjadi penyebab terjadinya disintegrasi bangsa ini adalah agama, selain masalah-masalah kesenjangan ekonomi dan yang lainnya.
Hipotesa bahwa Majlis Taklim berperan dan bertanggung jawab terhadap proses disintgrasi bangsa, perlu ada pembuktian. Dan itu perlu penelitian yang serius dan komprehensif. Namun, harapan Majlis Taklim memerankan diri dalam proses re-integrasi bangsa tampaknya perlu dipertimbangkan untuk dicoba.

 Thomas F. Odea, seorang tokoh aliran Sosiologi Fungsional, mengatakan bahwa fungsi disintegrasi agama lebih merupakan fungsi laten, sedangkan fungsi integrasi jelas-jelas merupakan fungsi manifest dari Agama. Karena, dalam sejarah mana pun agama telah membuktikan fungsinya sebagai perekat solidaritas masyarakat.
Untuk kasus Indonesia teori tersebut telah dibuktikan dalam sejarah agama-agama di Indonesia. Seperti disebutkan di atas, umat Islam tidak pernah merasa rikuh untuk menggunakan tradisi-budaya umat agama Hindu-Budha dalam proses penyebaran dan sosialisasi sistem nilai agamanya. Demikian, juga dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Agama tidak pernah menjadi alasan untuk tidak bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Bahkan, atas nama agama seluruh bangsa Indonesia secara bersama-sama dan sepakat untuk mengusir penjajahan dari muka Nusantara.
 
Cita-cita reformasi yang sebelumnya dianggap akan mampu menyelesaiakan sejumlah persoalan dan penyakit kronis bangsa ini. Kini, cita-cita ersebut malah bergantung terlalu jauh di angkasa sana. Karena, yang terjadi adalah perpecahan bangsa yang kini sulit untuk ditemukan solusinya. Islam yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan lil alamin, dan umat Islam yang digambarkan sebagai suatu bangunan yang kokoh yang antara satu bagian dengan bagian lainya saling m,emperkuat, tentunya lebih memiliki kepentingan untuk mewujudkan cita-cita integrasi bangsa ini. Karena ternyata disintegrasi telah menjadi penghalang bagi tercapainya suatu bangsa yang makmur dan mendapat ampunan Allah. Karena bila dengan bersatu saja persoalan bangsa ini sulit diatasi dan diselesaikan, apatah lagi bila bangsa ini bercerai berai. Dan, lebih tragis lagi bila benar bahwa salah satu sumber dominan penyebab disintegrasi bangsa ini adalah agama.
 
Mestinya kita harus sudah merasa kenyang dan bahkan bosan melihat kemelaran dan kesengsaraan rakyat bangsa ini. Jangan kemudian kita biarkan mereka prustasi dan akhirnya mereka punya alasan untuk kufur. Mestinya kita ingat peringatan Allah dan Rasulnya, bahwa kefakiran adalah jalan paling licin yang bisa membuat seorang beriman menjadi kufur.
 
Isu integrasi bangsa pada akhirnya bukan lagi sekedar isu politik bangsa ini. Akan tetapi telah menjadi unsur vital kehidupan bangsa ini. Baik kaum agamawan, pengusaha, pelajar dan mahasiswa, bahkan bagi seorang bayi yang akan lahir hari ini atau pun lusa. Masa depan bangsa ini bukan milik kita yang dengan ponggah merasa sebagai yang paling berhak menentukan masa depan bangsa ini. Masa depan bangsa ini adalah milik bayi-bayi yang akan lahir di hari ini dan di lusa.
 
Bila Majlis Taklim kembali pada ruh awal kemunculannya, sebagai kelomok terbuka dan tidak ekslusif, tentunya peran sosial politik yang dembannya akan lebih murni, netral dan lebih melihat kepentingan semua fihak. Bila tidak, jangan heran bila Majlis Taklim, secara sadar atau tidak, dijadikan alat politik oleh kelompok tertentu, demi kepentingan mereka sendiri. Bila demikian, jangan salahkan agama bila bangsa ini mengalami kehancurannya. Atau, jangan pula salahkan orang yang menuduh agama sebagai penyebab matinya bangsa ini.

Penulis :
Ahmad Gibson Al-Bustomi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar